Ibadah Haji, Kesadaran Diri, dan Masa Depan Umat

“Sepenggal kisah anak manusia, seorang yang cukup taat beragama, bagaimanapun jauhnya route perjalanan penerbangan, ia tidak pernah meninggalkan shalat”.
Pada tahun 1978 ia tiba-tiba mendapat anugerah untuk menunaikan ibadah haji. Ia sempat menatap Ka’bah, rumah Allah kebanggaan ummat Islam.

Pada tahun 1981  profesinya berubah, ia diterima menjadi penyiar TVRI, pada tahun itu pun ia pergi lagi berhaji. Profesi  barunya sebagai penyiar sempat mengharumkan namanya di jagad negeri ini.

Sepulang dari tanah suci ada sebuah tekad yang dikumandangkannya, sebuah tekad yang  tidak pernah terlintas dibenaknya pada keberangkatan haji sebelumnya, yaitu berjilbab.

Tiba-tiba “jagad” pertelevisian heboh, lingkungan sekitarnya terperangah, ada penyiar berjilbab. Kontan sebuah palu godam menimpanya, ia harus angkat kaki dari pekerjaannya sebagai pengumbar senyum di depan kamera televisi.

Namun semangat hajinya tak luntur, ia pun bertutur, “saya harus pakai jilbab untuk menjadi muslimah yang baik, walau karenanya saya harus keluar dari pekerjaan”. Siapa dia? Dia adalah Meriana Ramelan.

Kisah lain, ada sepasang artis kenamaan mendatangi seorang kyai, mereka berdua minta diajarkan manasik haji, karena berniat ketanah suci.

Sang kyai bertanya, “Apakah tujuan kalian berdua pergi haji?”. Artis tersebut menjawab, ya biar keren lah pak kyai, kayak orang-orang gitu?

Pak Kyai akhirnya menyuruh mereka berdua pulang dan menolak untuk mengajarkan manasik haji.

Kisah-kisah tersebut diatas menggambarkan kepada kita tentang sebuah niat, sikap dan tekad untuk berkorban. Berhaji adalah sebuah pengorbanan.

Berkorban harta untuk pergi kesana, berkorban waktu meninggalkan urusan ditanah air, berkorban tenaga karena mesti melakukan perjalanan panjang yang sangat melelahkan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *